oleebook.com

The Pilgrim de Iwan Simatupang

de Iwan Simatupang - Género: English
libro gratis The Pilgrim

Sinopsis

Iwan Simatupang Publisher: Typhoon Media Ltd, Year: 2011 ISBN: 9789881516459


Reseñas Varias sobre este libro



Saya sudah membaca Kooong, novel yang sederhana secara konflik namun kemudian menyeret pembaca pada banyak persoalan. Pun dengan novel kanonik Iwan Simatupang yang satu ini. Persoalannya tampak sekadar lara hati seorang suami yang ditinggal mati istri, yang kemudian merasakan kesedihan dan memutuskan untuk berziarah mengunjungi makam istri. Namun Iwan Simatupang mengajak pembaca menyusuri lebih dari itu.

Mulai dikisahkan bagaimana dia menjadi pelukis yang kemudian menjadi pengapur tembok kuburan, yang kemudian membuat heboh suasana kota, kemudian memaksa seorang Opseter diganti dan juga Walikota resah. Semua kacau karena kepolosan dan ruang kesendirian yang diam-diam menjalar ke seluruh kota. Meski makna berlapis, sebenarnya point-point permenungan yang hendak dihadirkan Iwan Simatupang terlihat gamblang. Apalagi kalau teliti mencermati keindahan kata-kata Iwan.

Saya menggarisbawahi satu frasa yang menurut saya begitu dalam: Tiap orang mati adalah sarjana kehidupan.
Juga kalimat pungkasan Iwan di novel ini yang ajaib sekali.

Namun kalau dibandingkan novel-novel mileneal, keberanian Iwan adalah tidak menancapkan tokoh pada sumbu yang tebal. Tokoh seperti mengawang tanpa kejelasan latar yang menjadi fondasi tokoh. Iwan tak peduli latar dan tempat, Tokoh lebih banyak bergerak mengawang tanpa based. Kalau dalam wayang, bisa diandaikan kalau wayang di tangan Iwan semuanya sedang bertanding di udara. Tak butuh debog untuk menancapkannya. Toh semua maksud Iwan sudah terwakili oleh keliaran dan kemajemukan kalimat dan pola pikir serta tindakan tokoh dalam novel ini.

Mungkin penulis sekarang belum ada yang berani menulis dengan gaya Iwan. karena apa? Kebanyakan penulis sekarang genit ingin menunjukkan kepiawaiannya membangun situasi dan latar.

Novel yang ajaib dan kudu dibaca lintas generasi.13 s Vetri13 6

Sebuah novel dengan tokoh-tokoh tanpa nama.

Ada pelukis
Ada istri pelukis
Ada walikota
Ada opseter penjaga kuburan

Indah. Absurd. Menembus batas-batas imajinasi. Menembus batas rasio.

Review:
Buku ini dimulai dengan gambaran sosok pelukis yang istrinya sudah mati. Pelukis tersebut tak pernah ziarah atau datang ke pemakaman. Ia hanya mabuk-mabukan tiap hari. Lalu bekerja serabutan maksimal 5 jam sehari.

Lalu datanglah opseter pekuburan yang menyewa tenaganya untuk mengapur dinding luar pekuburan, padahal sang pelukis tak mau dekat-dekat ke kuburan.

Pelukis ini lalu mau menerima pekerjaan itu.
8 s Ageng Indra119 21

Ziarah sebetulnya menawarkan cerita yang meriah, dengan runtutan penyampaian yang melompat dan menukik tajam. Pola utamanya adalah bagaimana masalah atau pencapaian seorang individu bisa membikin ribut seluruh masyarakat. Seperti pelukis yang, saking terkenalnya, ketika menikah mendapat banyak karangan bunga sehingga satu kota penuh bunga selama seminggu lebih. Penjual bunga kelapa karena tak bisa mendapat nafkah, sedang yang muak terhadap bunga berdemonstrasi untuk mengusir si pelukis dari kota.

Kelemahan Iwan Simatupang adalah sering terburu-buru pada konklusi tanpa sempat membangun setting yang meyakinkan. Maka, pada bagian ketika "efisiensi kerja di pekuburan kotapraja" menjadi konflik nasional, ceritanya tak meyakinkan. Bayangkan saja: walikota tak punya solusi, lalu masalah diteruskan ke gubernur; gubernur juga sama, lalu diteruskan ke mentri, lalu ke atas lagi hingga jadi konflik nasional. Pembaca yang mengerti berbelitnya birokrasi tentu paham, laporan tak akan naik dan mendapat tanggapan selancar itu. Terlebih di beberapa bab berikutnya, Iwan menyinggung bahwa birokrasi sebagai hal yang berbelit.

(Ketidakkonsistenan paling fatal adalah saat istri pelukis disebut tak pernah sekali pun menyebut "kau" pada suaminya, padahal pada bab sebelumnya mereka berdialog langsung dan si istri bilang "kau penasaran ya?")

Amin Maalouf dalam Cadas Tanios adalah contoh terbaik yang bisa saya tunjuk: bagaimana masalah keluarga (yakni kelahiran) dikembangkan dengan matang, hingga kemudian begitu meyakinkan ketika hal tersebut mengakibatkan dua kota berkonflik. Dalam ranah yang lebih sureal, cerpen "Rahim" Etgar Keret pun lebih matang: penggambaran singkat indahnya bentuk rahim cukup membuat dimuseumkannya rahim itu sebagai kekayaan nasional tampak masuk akal.

Karena terlalu terbatasnya informasi, bagian-bagian yang dimaksudkan sebagai absurd (seperti jatuhnya pelukis menimpa si calon istri, serta beberapa bagian di mana tokoh-tokoh mengambil keputusan tak masuk akal) bukanlah menemukan celah di antara logika realis sepert dilakukan Albert Camus atau Haruki Murakami. Buat saya, absurdisme Ziarah lebih seperti kegagalan memenuhi logika realis.

Bagian terbaik Ziarah bagi saya malah nyaris di penghujung, ketika keajaiban tidak lagi dirayakan, fokus narasi bergeser pada dialog. Wanita Tua dengan "suami abstraksi" dan "anak hipotetis"nya, buat saya adalah harta karun sesungguhnya Ziarah. Metafora-meraforanya sederhana tapi terngiang, dan bahasanya kuat: padat tanpa pengulangan-pengulangan diksi yang sebenarnya tak perlu,seperti banyak dijumpai di bab-bab sebelumnya.

Bagian ini, sebetulnya, sangat khas cara bertutur Haruki Murakami dalam Kronik Burung Pegas, dan Ziarah yang ditulis 1977 jelas lebih dulu ketimbang Murakami. Nelayan itu Berhenti Melaut-nya Safar Banggai dan Aku Doakan Kamu Mati dengan Sepenuh Hati-nya Prima Hidayah, jelas mewarisi tradisi bertutur Iwan dalam Ziarah. Namun, kedua kumcer itu lebih berkiblat pada bagian awal, lengkap beserta lubang-lubangnya, dan bukan bagian akhir ini.6 s Melancholythron8 11

Saya menemukan novel ini tergeletak diantara tumpukan buku-buku pelajaran sekolah di rumah saya.

Walikota:
Hidupnya sehari-hari terlalu penuh dengan pekerjaan merobek enpelop-enpelop dinas, membaca surat-surat dinas berstempel, dengan gaya bahasa yang kelu dan sekejang-kejangnya. Hidupnya penuh dengan catatan-catatan, dengan kattebelleces, dengan sebentar-sebentar melihat kepada arlojinya, dengan tilpon berdering-dering, dengan kartu nama dari tamu-tamu yang semuanya datang dengan tampang pintar dan penting. Hidupnya dimuakkan oleh terlalu banyak senyum dan ramah tamah palsu, oleh terlalu banyak resepsi yang telah merusak untuk selama-lamanya sistem pencernaan makanannya, oleh pidato-pidato pakai teks yang tak pernah diyakininya sendiri, oleh praktek-praktek menjilat atasannya dan menindas bawahannya.

"Pimpinan universitas telah lama menyediakan gelar summa cum laude baginya. Gelar ini belum pernah diberikan pada siapapun. Akan tetapi dia ingin keluar saat itu juga. Saya menyukai keindahan dari sesuatu yang pada detik terakhir justru tak menjadi sempurna, katanya. Keindahan dari ketaksempurnaan. Tiap yang tidak sempurna adalah indah. Indah adalah ketaksempurnaaan. Sejak itu dia bekerja sebagai opseter kuburan."

Opseter Kuburan:
Penglihatan saya sehari-hari dilapangan pekerjaan saya yang kini mengatakan kepada saya, bahwa harta dan kekayaan berhenti mempunyai arti persis pada tembok-tembok luar dari setiap pekuburan. Selanjutnya, filsafat murni hanya didapat pada suasana di sebelah dalam dari tembok-tembok itu. Janganlah usik-usik saya lagi di masa yang datang. Sayalah kekayaan, sayalah kebajikan.

Pelukis:
Agaknya beginilah makna dari setiap jiwa yang besar. Manusia besar, yang bakal tak pernah dicetak namanya dalam buku-buku pelajaran, dan dikuliahkan mahaguru-mahaguru. Sebab dia tak pernah mengendalikan pena. Dia tak pernah menulis artikel dalam majalah, apalagi dalam surat kabar. Manusia besar ini, filsuf ini, akan berlalu dari dunia ini tanpa apa-apa. Dia tak meninggalkan apa-apa, selain sejemput kesan-kesan tak beraturan pada sejemput orang lain tentang dia. Hanya itu.

Novel ini dicetak pertama kali tahun 1969. Bagi saya cover-nya terus terang kurang menarik, dengan jenis font yang biasa saja. Tetapi gaya penokohannya tidak biasa karena tidak ada satu nama pun dalam cerita ini. Agak susah untuk dicerna pada awalnya, tetapi setelah kita bisa mengikuti alur dan gaya bahasanya, kita bisa tahu mengapa novel ini dicetak sampai cetakan ketujuh. Setelah beberapa lembar ketengah, timbul satu kecurigaan kalau sang penulis pastilah seseorang yang pernah belajar filsafat…


Kecurigaan pun terbukti ketika dihalaman belakang tertulis:
Iwan Simatupang, mendapatkan pendidikan HBS di medan, sekolah dokter di surabaya (tidak selesai), lalu belajar antropologi dan filsafat di Rijk-Universiteit Leiden dan Paris. Dikenal sebagai wartawan dan sastrawan. Dan "Ziarah" dalam terjemahan bahasa inggris mendapat hadiah roman ASEAN terbaik 1977.

Ternyata saya menemukan harta karun.
5 s Ikra Amesta143 23

Gila. Dan saking gilanya jadi menjurus hebat.

Maaf kalau kesannya meremehkan, tapi saya nggak nyangka kalau ada novel Indonesia yang seribet ini. Ribet dalam arti sebagai perkawinan antara imajinasi dan intelektualitas yang diolah menjadi fiksi berbalut filsafat, semiotika, dan psikologi. Atau mudahnya, buku ini mengandung: tokoh utama ciptaan Albert Camus yang hidup dalam situasi bikinan Franz Kafka dan menjalani plot yang dirancang Samuel Beckett. Atau ringkasnya, absurd maksimal!

Ceritanya adalah tentang seorang pelukis yang melakukan proses dan perjalanan menziarahi makam istrinya. Proses dan perjalanan ini mempertemukannya dengan beberapa orang, momen, dan episode yang dijamin bakal membuat logika pembaca mampus seketika. Bayangkan, si pelukis yang biasa mampir di kedai arak dalam kondisi sedih dan hancur lalu suatu hari tampak sangat berseri-seri. Perubahan emosi yang tanpa sebab itu justru membuat orang-orang di sekitarnya terserang kegelisahan akut yang ujung-ujungnya membuat satu negara terjangkit paranoia. Satir tersebut terasa relevan mengolok-olok era media sosial zaman sekarang yang memfasilitasi orang untuk membagi dan mencampuri urusan orang lain demi mengenyangkan nafsu narsistik pribadi.

“Saya ingin menanyakan kuburan seseorang yang semasa hidupnya adalah istri saya.”

“Siapa nama istri Saudara?”

“Saudara boleh percaya atau tidak, tapi saya sendiri tidak tahu.”

Si pelukis itu tidak bernama, Iwan Simatupang tidak memberinya nama, begitu pula dengan tokoh-tokoh lain di buku. Mereka diidentifikasi dari pekerjaan dan status sosialnya saja. Negeri yang mereka tinggali juga tidak bernama, mungkin inilah caranya si penulis membiasakan pembaca dengan rangkaian absurditas tak bernama yang terjadi. Ada kesan surealisme juga di sini, terutama ketika pembaca diajak masuk ke alam pikiran tokoh-tokohnya ? yang diawali oleh sebuah gagasan lalu berubah jadi imaji dan kemudian tak jarang membuahkan kegilaan berujung bunuh diri.

Ziarah, tidak diragukan lagi, adalah novel yang mengganggu. Sulit dipahami, sulit juga dijelaskan. Mengakhiri novel ini bukan perkara yang gampang, bukan pula solusi yang tepat untuk memahaminya. Pembaca mungkin susah bersimpati kepada tokoh-tokohnya karena tidak punya pengalaman riil yang serupa abstraknya. Namun rasanya juga sulit untuk tidak terjerat ke dalam pusaran irasionalitas cerita tanpa mengakui bahwa itu adalah kebingungan yang orgasmik, yang memantik pikiran untuk menjelajah area yang tak terpikirkan sebelumnya, dan di ujungnya kita bakal terganggu oleh bagaimana novel ini selesai sementara kita masih belum selesai. Saya nggak nyangka ada novel Indonesia yang semengganggu ini.

“Kalau begitu apa yang saudara ketahui?!”

“Saudara bertanya apa yang saya ketahui, hah? Yang saya ketahui adalah, dan hanyalah: SAYA MENCINTAI ISTRI SAYA-A-A-A…!!!”

Novel ini terbit pertama kali pada 1969, dan 50 tahun kemudian novel ini masih tetap menampilkan dirinya sebagai masa depan sastra Indonesia.
sastra-indonesia6 s ana244 40


Apakah hidup? Bertanya opseter, meneruskan renungannya. Pelan-pelassn dia menyusuri tembok-tembok pekuburan. Hari telah larut malam. Bahkan malam hampir habis. Dia tinggal menantikan pijar fajar, yang bakal menjadi alasan baginya nanti untuk segera masuk ke dalam rumah dinasnya.

Apakah hidup? Jawab yang dipetiknya malam kemarin dari burung pungguk yang memanggil-manggil kepada bulan sabit, tak membuat dia puas. Jawab itu, yang baginya kurang lebih berbunyi: kehidupan adalah suasana, adalah iklim, dari maut -- tak sebegitu meyakinkannya sendiri, betapapun besar pengaruh perkataan "iklim" itu dalam seluruh filsafat dan sastra modern sekarang ini. Lagi pula, ada sesuatu pada jawab itu yang terasa (tjemplang) baginya. (hlm. 62)

Siapakah dia? Hal apa yang membuat dia menyisipkan dirinya dalam episode kehidupan sang opseter?
Ah. opseter kita tak tahu. orang itu bisa siapa saja, punya peranan apa saja. Mungkin dia reserse, mungkin manusia halus, mungkin petualang, mungkin pengarang yang lagi iseng atau menyaru-nyaru entah sebagai dan untuk apa saja. Sebegitu banyak kemungkinan! dan apakah dia membawa tanda seru atau justru tanda tanya dalam episode hidupnya yang kini. Apakah dia membawa koma, titik koma, atau titik, opseter kita benar-benar tak tahu. Manusia adalah sebakul tanda tanya dan lainnya sekaligus, dan kita bertemu dengannya pada setiap momen yang dikehendaki kehidupan. Kenalkah kita dengan yang berpapasan dengan kita di jembatan sana tadi? Siapa tahu, dalam sakunyalah justru terletak kunci kehidupan kita, yang kini maupun yang akan datang. (hlm. 74)

Bunuh diri --- lebih-lebih dia tak dapat melakukannya! Kepegawainan yang sudah berpuluh-puluh tahun itu telah membuat dari dirinya, tanpa semaunya sendiri, manusia susila. Sedang bunuh diri adalah tindak yang tak susila. Negara bahkan menganggap bunuh diri sebagai juga pembunuhan biasa. Bedanya cuma, si pembunuh tak dapat didakwa dan dihukum lagi. Dia telah mendakwa sekaligus menghukum dirinya sendiri. Dia adalah si pembunuh sekaligus dan yang terbunuh. matinya adalah kematian yang rangkap dua. Yang pertama, kematian sang korban yang dibunuh. Yang kedua, kematian sang terdakwa yang dihukum sendiri oleh sang korban.

Pada tiap bunuh diri terdapat dua kali perkataan "korban" dan dua kali perkataan "terdakwa". Si korban sekaligus membalas pembunuhan atas dirinya pada saat itu juga, dimana dia jadinya bertindak sebagai pembunuh. Tegasnya, sebagai sang terdakwa baru. Sedang si terdakwa sekaligus mengalami pembunuhan atas dirinya pada saat itu juga, dimana dia jadinya adalah sang korban. Tegasnya, sebagai sang korban baru.

Jadi, bunuh diri tak memebawa penyelesaian. Dia adalah persis layar penutup babak terakhir sandiwara. TAMAT, tapi hanya untuk lakonnya saja. Sesudah layar turun, tiap tokoh meneruskan kisahnya sendiri-sendiri, dalam sekian lakon yang tidak, atau masih bakal, dikisahkan. (hlm. 100)



Banyak lagi narasi yang saya sukai, tapi untuk spoiler, cukup segini saja. lokal wishlist-banget4 s Missy J606 98

3.5*

A very original and unique novel. I have never read anything this before. This novel sparked my interest because the author belongs to the same clan group my family. Iwan Simatupang was born in North Sumatra in 1928, fought in the Indonesian Revolution against the Dutch, then went on to study in Indonesia, Netherlands and France. When he returned to Indonesia in the early 60s, he worked as a teacher and wrote articles and poems too. "The Pilgrim" is his first novel, which was published in 1969. Unfortunately, he only wrote two other novels, because he died in 1970.

A GR reviewer recommended that the best way to approach this novel is to not have any realist expectations. Many have hinted how the absurdity of the plot makes "The Pilgrim" very different from the novels written before. One review even labeled this book as the first modern, contemporary Indonesian novel. To start off, the novel is about a painter who recently became a widower. He lives a very peculiar life and has given up painting despite his incredible talent. He takes on random day jobs. The overseer of a cemetery wants the painter to whitewash the walls of the cemetery, because he wants to spy on the painter and see how he behaves at a place where his wife is buried. To his surprise, the painter comes in everyday for work, gets the job done and even abandons his quirky behavior traits that were known throughout the town. Everybody goes insane. A plague of absent-mindedness befalls the town and the national government is alarmed and has to intervene. All hell breaks loose!

I honestly didn't get the philosophical ideas. In the synopsis, it is stated that the painter represents the emotional side of humans, while the overseer of the cemetery represents rationality. We delve into the past of both characters and the novel flows between the present and the past very smoothly. While I was reading this book, I wondered if this can also be considered "magical realism" (realisme gaib/magis) because so many incredible things were happening (how he met his wife, how the flowers of their wedding made the entire town sick of the couple, how the painter made so much money even though he tried to gamble it away, how the government would freak out over the most irrelevant thing and declare national emergency, how the painter's wife only loved him when he was poor, how nobody in the town wanted to be an overseer of the cemetery despite high unemployment rates...). Everything is upside down. I read the English translation of this book, but from articles that I read regarding this novel, the translator has made quite a few mistakes, which is why I'm rating this 3.5 stars. Nevertheless, this novel has a very unique plot and it is un any other book I read in Indonesian literature.2020-books asia-related indonesia-related ...more3 s AzizAuthor 5 books26

Saya beli novel ini dengan harga RM6 di satu jualan murah buku-buku. Tapi seusai membacanya saya tahu saya telah membaca sebuah novel yang tidak ternilai harganya.

Sangat dasyat. Sangat bijak. Sangat memikat.

Mungkin inilah apa yang dikatakan sebuah novel 'avant-garde'.

Saya juga cuba mencari novel-novel lain pengarang ini 'merahnya-merah' & 'kering'. Masih belum ketemu. Insyaallah satu hari nanti.

5 bintang untuk novel yang sangat bijak.5-star novels owned3 s Firda51 18

selama membaca novel ini sering sekali saya cekikikan XD. memang novel surealis Indonesia yang wajib baca :Dindonesian-lit3 s Widia Kharis45

jujur, saya nggak tahu harus nulis apa. saya belum pernah menemukan novel yang seperti ini sebelumnya. dan tentu saja, bagi saya ini bukan bacaan yang ringan.

mulanya, saya kira ini akan banyak bercerita tentang kesedihan seorang pelukis yang ditinggal mati istri tercinta, tetapi menolak untuk menziarahi makamnya. dan ya, lebih dari itu, ternyata isinya membuat saya kehabisan pikir.

absurditas yang disajikan oleh Iwan Simatupang dalam pemikiran tokoh-tokohnya memang memerlukan pemahaman lebih. tokoh-tokoh tanpa nama itu antara lain sang pelukis dan istrinya, opseter perkuburan, walikota, kepala negara, dan centeng makam. saya benar-benar kesulitan mengikuti jalan pikir mereka, apalagi alurnya—potongan-potongan cerita yang tak bisa saya bayangkan bakal seperti apa ujungnya. namun ending-nya cukup memberi penjelasan.

saya juga mendapati banyak satire yang disampaikan di sini, terutama mengenai kematian.

"... tiap orang mati, adalah sarjana kehidupan." (hal. 215)

sebenarnya bintang-bintang yang saya berikan itu tidak ada artinya, sebab bagi saya ini bukan bacaan yang patut diapresiasi dengan nilai belaka. saya memang tidak bisa benar-benar memahami keseluruhan cerita, tetapi saya senang menemukan karya sastra yang lain dari yang pernah saya baca.3 s Seno Guntur Pambudi70 12

Novel yg terbit tahun 1969 ini disebut naskahnya telah rampung sembilan tahun sebelumnya. Novel yg disebut membawa jalan baru kesusastraan Indonesia. Gaya bercerita yg tak masuk akal, alur yg aneh, dan plot yg lompat2 membuat novel ini mendapat penghargaan SEA Write Award pada 1977.

Absurditas yg dibawakan Iwan merupakan hal baru dlm kesusastraan Indonesia, yg diikuti oleh sastrawan generasi selanjutnya, semisal Danarto. Gaya penulisannya melabrak format baku. Karakter2 di dlm novel ini tdk bernama, tokoh2nya pun tdk saling memanngil nama.

Membaca novel ini kita mesti mencampakkan logika dlm membaca suatu cerita. Plot yg lompat2 terkadang saling tindih, dan menghasilkan sesuatu yg baru. Logika mana bisa menerima orang yang menjatuhkan diri dari lantai empat sebuah hotel tidak terluka sedikit pun atau bahkan mati. Dia malah menimpa seorang gadis untuk kemudian keduanya bercinta di tengah jalan.

Novel ini jg menghadirkan cara berpikir Iwan yg filosofis. Banyak permainan kalimat yg bila dicermati seperti membaca pikiran seorang filsuf. Iwan lebih memilih gaya surrealis ketimbang realis yang digunakan Sartre. Pilihan ini membuat pikiran-pikiran filosofisnya mengendap-endap dalam penceritaan tak masuk akal. Dengan kata lain, filsafat tentang absurditas disampaikan Iwan dengan gaya absurd.1 Limya93 6

Khas Iwan, seperti biasa: absurd, magis, dan penuh simbol-simbol. Permainan kata berima seperti mantra. Karakterisasi yang kuat dan kokoh. Bagi Iwan, nama takpernah penting. Yang penting adalah makna.

Ajaib. Benar kata Teguh Afandi, novel ini ajaib. Awal-awal memang banyak hal yang tidak bisa kita mengerti, seperti Iwan sekali lagi, absurd, namun Iwan mengajak kita berusaha memahami keadaan absurd tersebut. Sebab absurdisme nyatanya memang akan selalu hadir dalam realitas.

Saya merasakan kelegaan yang mendalam setelah di akhir cerita, mengikuti perasaan tokoh kita, Bekas Pelukis, Bekas Pengapur, dan yang Bakal Jadi Opseter Pemakaman. Tetapi kelegaan tersebut membawa sebuah perenungan panjang menuju ziarah. Sudahkah kita menziarahi diri sendiri? Bisa jadi dengan Ziarah, kita dapat menghidupkan kembali jiwa yang kita anggap sudah mati itu.

Akhir kata, benar pula Ziggy, novel ini cocok untuk siapa saja yang mengapresiasi hal-hal hebat yang tidak dapat dimengerti.

Buku bintang lima pertama yang saya baca di tahun 2020. Suatu hari saya berniat membacanya kembali. Terima kasih untuk seseorang yang meminta saya membaca novel ini, padahal dia sendiri belum selesai membaca.
Autor del comentario:
=================================